Laman Webantu KM2: 6464 File Size: 8.9 Kb * |
Beberapa Sajak Dahsyat Tongkat Warrant By Usman Awang 5/12/2001 11:58 pm Wed |
BEBERAPA SAJAK DAHSYAT OLEH TONGKAT WARRANT @ USMAN AWANG JENTAYU YANG LUKA (Untuk Wan Azizah) Tiba-tiba dia bangkit Dengan kelembutan yang tetap sopan Berdiri di barisan paling hadapan Sebagai pahlawan keadilan Lama dulu wajahnya tersembunyi Di belakang pemimpin berani sang suami Mengintip dengan mata kecilnya Segala tingkah dan senyuman pura-pura Si pengampu yang bermuka dua Si penyembah yang berjiwa hamba Si pengemis segenggam laba Dia adalah jentayu yang luka Terbang mengepak menyonsong gumpalan awan Mencakar menjeritkan kebebasan dan keadilan Mencabar dunia yang semakin kejam. SAUDARA ANWAR IBRAHIM (Selamat Hari Lahir) Palu telah dijatuhkan Lama sebelum tanganmu terikat ke belakang Kau gegar aras kayangan Kekuasaan yang mula tergoncang Sekali tanganmu terancung ke udara Sejuta teriakan menyambutnya Sekali suaramu terpancar ke angkasa Sejuta gelombang gema menyahutnya Demi sumpah perjuangan Demi maruah keadilan Tabah dan gagah Tidak pernah menyerah. Demi sumpah perjuangan Demi maruah keadilan Tabah dan gagah Tidak pernah menyerah. Gadis Kecil Tubuh itu mengingatkan daku sebatang pinang di desa sepi kurus dan tinggi ketika ribut besar pohon sekitarnya rebah terkapar dan pohon pinang tegak menanti sinar matari pagi Demikianlah gadis kecil itu kurus seperti sebatang pinang bertahun berulang-alik melalui penjara kawat duri menemui ayahnya yang bertahun pula sendiri menentang tiap penderitaan tabah dan beriman. Gadis kecil itu mengagumkan daku tenang dan senyuman yang agung dengan sopan menolak pemberianku 'saya tak perlu wang, pak cik, cukuplah kertas dan buku.' Usianya terlalu muda Jiwanya didewasakan oleh pengalaman tidak semua orang mencapai kekuatan demikian ketabahan yang unik, mempesonakan. Bila aku menyatakan simpati dan dukaku rasa pilu terhadapnya sekali lagi dia tersenyum dan berkata: 'jangan sedih, pak cik, tabahkan hati banyak anak-anak seperti saya di dunia ini.' Aku jadi terpaku dia, si gadis kecil itu menenteramkan mengawal ombak emosiku jangan sedih melihat derita pahitnya. Alangkah malunya hati seorang lelaki dewas yang mahu membela manusia derita terpenjara menerima nasihat supaya tabah dan berani, dari anak penghuni penjara sendiri? Sepuluh anak seperti dia akan menghapuskan erti seribu penjara. Kurang Ajar Sebuah perkataan yang paling ditakuti Untuk bangsa kita yang pemalu. Sekarang kata ini kuajarkan pada anakku; Kau harus menjadi manusia kurang ajar Untuk tidak mewarisi malu ayahmu. Lihat petani-petani yang kurang ajar Memiliki tanah dengan caranya Sebelumnya mereka tak punya apa Kerana ajaran malu dari bangsanya. Suatu bangsa tidak menjadi besar Tanpa memiliki sifat kurang ajar. Kekasih Akan kupintal buih-buih menjadi tali mengikatmu akan kuanyam gelombang-gelombang menjadi hamparan ranjang tidurmu akan kutenun awan-gemawan menjadi selendang menudungi rambutmu akan kujahit bayu gunung menjadi baju pakaian malammu akan kupetik bintang timur menjadi kerongsang menyinari dadamu akan kujolok bulan gerhana menjadi lampu menyuluhi rindu akan kurebahkan matari menjadi laut malammu menghirup sakar madumu Kekasih, hitunglah mimpi yang membunuh realiti dengan syurga ilusi. Penjual Air Batu Pelan-pelan di pinggir jalan kota, Penjual air batu suaranya ditelan deru kereta, Ia bisa ditulikan dengan pekikan hon-hon, Tuan-tuan yang terganggu bisa pula menghamun. Undang-undang ialah suatu kekuasaan, Yang biasanya untuk orang-orang bawahan, Dan berseraklah orang-orang pakaian seragam, Memburu tangkapan yang 'melanggar aturan'. Anak-anak di bawah kolong, perutnya kosong, Ah' ayah belum pulang, manakah dia? Isteri menanti dengan hati separuh bingung, Tunggulah, betapa ia pulang jua. (Sampai gelap merangkak menghampiri, Penjual air batu belum pulang lagi) Tapi berapa kali tangkapan terjadi, Ia usahakan untuk berjual mencari rezeki. Bilakah ruang keadilan memberi isi, Para penjaja dalam hayatnya wajah berseri? Bila nanti undang-undang jadi perlindungan, Semua manusia tanpa kasta menerima keadilan Bunga Popi Dari darah, dari nanah yang punah di tanah, Rangka manusia kehilangan nyawa disambar senjata, Hasil manusia gila perang membunuh mesra, Bunga merah berkembang indah minta disembah. Yang hidup tinggal sisa nyawa, penuh derita, Kering, bongkok, cacat, tempang dan buta, Perang dalam kenangan penuh kengerian, Sekarang dalam kepahitan, dalam kesepian. Yang lain kehilangan anak, suami dan kekasih, Hilang pergantungan, hilang pencarian, hidup kebuluran, Ribuan janda, ribuan kecewa, ribuan sengsara, Jutaan anak-anak yatim hidup meminta-minta. Manusia gila perang telah membunuh segala mesra! Perang berlangsung mencari untung tanah jajahan! Perang berlangsung membunuh anak dalam buaian! Perang berlangsung menghancur lebur nilai kebudayaan! Bunga popi bunga mayat perajurit bergelimpangan, Bunga darah merah menyimbah, penuh kengerian, Kami benci pada perang pembunuhan! Kami rindu pada damai sepanjang zaman! Pak Utih I Punya satu isteri mau dakap sampai mati, Lima anak mau makan setiap hari, Teratak tua digayuti cerita pusaka, Sebidang tanah tandus untuk huma. Kulit tangan tegang berbelulang, Biasa keluarkan peluh berapa saja, O Pak Utih, petani yang berjasa. Tapi malaria senang menjenguk mereka, Meski dalam sembahyang doa berjuta, Dan Mak Utih bisa panggil dukun kampung, Lalu jampi matera serapah berulang-ulang. Betapa Pak Dukun dan bekalan pulang, Wang dan ayam dara diikat bersilang. II Di kota pemimpin berteriak-teriak, Pilihanraya dan kemerdekaan rakyat, Seribu kemakmuran dalam negara berdaulat, Jambatan mas kemakmuran sampai ke akhirat. Ketika kemenangan bersinar gemilang, Pemimpin atas mobil maju ke depan, dadanya terbuka, Ah, rakyat tercinta melambaikan tangan mereka. Di mana-mana jamuan dan pesta makan, Ayam panggang yang enak di depan, Datang dari desa yang dijanjikan kemakmuran. Pak Utih masih menanti dengan doa, Bapak-bapak pergi ke mana di mobil besar? Balada Terbunuhnya Beringin Tua Di Pinggir Sebuah Bandaraya Beringin tua di pinggir jalan raya di sebuah ibu kota yang setengah muda ratusan tahun usianya berdiri menadah matari memayungi bumi burung-burung berterbangan menyanyi di sini rumah mereka, di sini keluarga bahagia kupu-kupu berkejaran dalam senda guraunya anak-anak bermain di keteduhan perdunya. Tiba-tiba pagi yang hitam itu datang geregasi teknologi menyerangnya dengan kejam membenamkan gigi-gigi besi sehingga terdengarlah jeritan ngeri suara Beringin rebah ke bumi. Sampai sekarang, tiap senjakala lembayung petang dengarlah suara Beringin mengucapkan pesan: Selamat tinggal, selamat tinggal wahai awan Selamat tinggal matari selamat tinggal bulan Selamat tinggal kupu-kupu sayang Selamat tinggal wahai burung-burung bersarang Selamat tinggal anak-anak bermain riang. Namaku Beringin pohon tua yang terbuang dimusuhi oleh rancangan bernama Pembangunan. Satu Mei Merekalah menyusun lapis-lapis besi waja Merekalah membina batu-bata Membancuhnya dengan titik peluh - bangunan tinggi itu masih jua meminta lalu diberikanlah nyawanya. Merekalah yang menyedut udara kotor Racun gas itu berbaur di rongga menjalari saraf pernafasannya menghentikan detak jantungnya -segalanya untuk upah beberapa sen cuma. Merekalah membunyikan mesin-mesin kilang debu dan serbuk logam berterbangan hari demi hari berkumpul bersarang di jantung dan paru-parunya -jentera kilang itu masih lagi meminta lalu kudunglah jarinya lalu kudunglah tangannya lalu kudunglah nyawanya segalanya untuk upah beberapa sen cuma. Merekalah menggali perut bumi yang sakit lumpur dan pasir memenuhi tiap rongga tanah lombong yang selalu mengucapkan simpati menimbusi membungkus tubuh para pekerja melindunginya dari pemerasan kejam -upah yang diterimanya sekadar beras segenggam. Merekalah mewarisi pusaka zaman seluar sehelai baju bertampal tikar buruk di sudut bangsal tulang selangka dapat dibilang. Mereka kini menyedari kekuatan diri Mengubah wajah sebuah negeri Menukar nama seorang menteri Di matanya api di tangannya besi. |